Sebuah pemandangan yang baru saja kita lalui dalam perjalanan ini, adalah berpulangnya Bapak Dr. Yusuf Nahdlawi[1] ke bumi pertiwi, untuk meneruskan perjuangan dalam menyebarkan hasil ‘uzlahnya selama di negeri Maghribi ini. Yaitu sebuah peristiwa yang tentunya sangat bersejarah, baik bagi diri pribadi beliau, maupun bagi kita para yunior PPI, sebagai generasi penerus hasil “babat hutannya” selama ini.
Pemandangan itu bahkan diiringi dan dibarengi dengan keberhasilan Akhi Nuri mencapai gelar tertingginya dalam dunia akademisi, alhasil, tanggal 9 Juli 2008 adalah hari, di mana seorang doctor hilang, tumbuh kembali. Yaitu sebuah filosofi yang tentunya tidak dapat dimaknai dan ditafsiri, kecuali bagi mereka yang mau memikirkan eksistensinya secara dini.
Mendefinisikan figure dari seorang Dr. Yusuf Nahdlawi, tidaklah cukup hanya dengan bahwa beliau adalah seseorang yang “dilahirkan dari keluarga sederhana, putera ke-4 dari 13 bersaudara, pada tanggal 28 Juli 1971 dengan nama lengkap : Kiagus Muhammad Yusuf Ibrahim, di desa Cintajaya, kec Pedamaran, kabupaten OKI, Sumatera Selatan, sebuah desa yang terapung, rumah rakit yang terbuat dari kayu berjajar mengapung di atas sungai tanpa tiang”[2].
Dan mendefinisikan figure dari seorang Dr. Yusuf Nahdlawi, tidaklah cukup hanya dengan uraian sejarah panjang atas segala raihan gelar akademisi, melainkan harus dibarengi dengan gelar-gelar lain dalam berbagai kancah pergulatannya mempertahankan dan mengiringi arus gerak sebuah organisasi yang sejak berdirinya dijuluki dengan PPI.
Lantas, dalam perspektif kalangan kita, siapakah beliau ?
Pertama, beliau adalah salah satu dari jajaran anggota PPI paling senior. Artinya, sejak PPI dalam buaian, beliau turut memomong dan membimbing hingga akhirnya PPI mencapai usia seventeen years. Yaitu sebuah usia yang tidak lagi dibilang kekanak-kanakan dari usia sebuah organisasi.
Kedua, PPI pada usianya yang ketiga tahun, langsung mempercayakan kepada beliau sebagai ketua dalam meneruskan dan melanjutkan perjuangannya, bahkan PPI dalam ayoman beliau, mencapai pada masa keemasannya, sehingga beliau dipercaya lagi untuk menjadi ketua PPI selama tiga tahun berturut-turut. Yaitu, sebuah sejarah dalam kepengurusan PPI yang paling unik dan seharusnya menjadi tinta emas sejarah PPI, karena beliau tidak hanya mampu, melainkan juga bersedia memimpin PPI dalam kurun waktu tiga tahun bertubi-tubi..
Ketiga, Beliau adalah salah satu jajaran Dewan Penasihat dalam berbagai periode. Artinya, dalam kapasitas beliau sebagai insane social, beliau telah mencapai pada title tertinggi pada sebuah komunitas PPI.
Tentunya, berawal dari uraian ini, betapa Bapak Dr. Yusuf Nahdlawi telah mengabdikan seluruh waktu, tenaga, pikirannya dan sebagian hartanya untuk PPI tercinta. Dengan kata lain, beliau telah menggoreskan tinta sejarah pada masa kelahiran, masa pertumbuhan dan usia dewasa organisasi PPI.
Dari sini dapat kita tafsiri, betapa Bapak Yusuf telah mencapai title tertinggi dalam akademisi dan organisasi, yaitu sebuah pencapaian yang sangat luar biasa dalam sejarah hidupnya, di mana pencapaian itu tentunya tidaklah cukup hanya dengan menengadahkan tangan belaka, melainkan harus diiringi dengan positive action dalam setiap tindakan dan kebijakannya.
Namun demikian, seluruh jerih payah yang telah beliau berikan secara ihklas kepada PPI, barangkali hambar begitu saja, hanya karena di akhir detik-detik kehadiran beliau di negeri ini tidak mendapatkan forum yang dapat memberikan kesan tersendiri bagi beliau dan juga bagi PPI.
Empat belas tahun lamanya, Bapak Yusuf selain menjadi pelaku sejarah PPI, beliau juga menjadi pengamat dan pemerhati, bahkan pecinta sejati. Untuk itu, manakala penghormatan kepada beliau hanya sebatas datang di pagi hari sekedar "good bye", akankah itu "mukafa'ah" PPI yang paling tinggi ?.
Apabila Bpk Ruly, sebagai diplomat yang selama tiga tahun telah menelantarkan dan tidak memperjuangkan anggota-anggota PPI dengan kebijakannya yang justru meminimalisir jumlah kedatangan mahasiswa akan mendapatkan forum terhormat untuk dapat menyampaikan kata akhir dari sebuah perpisahan sekaligus ramah tamah, lantas akankah mantan Dewan Penasihat PPI tak ada arti ?
Membuat sebuah forum untuk perpisahan bagi PPI bukanlah hal yang ribet, bahkan hanya dengan bubuhan tanda tangan, acara akan dapat terealisasi dengan sendiri, apalagi forum perpisahan antara PPI dengan para pejabat di KBRI selama ini adalah tradisi, namun mengapa untuk mengadakan sebuah perpisahan dengan mantan anggota, mantan ketua, sekaligus mantan dewan penasihat PPI tidak dapat terealisasi ?.
Peristiwa besar semacam ini, tentunya tidak boleh luput kembali, mereka yang dipercaya memegang komando harus tahu sejarah PPI, baik dari sejarah berdirinya, maupun sejarah bagaimana kekhasan PPI berpolitik dalam dan luar organisasi. Dengan kata lain, seorang pemegang komando seyogyanya tahu dan merasakan denyut jantung hati PPI, karena di tangannya lah letak kemajuan dan kemunduran organisasi tercinta ini.
Innalillah wa Innailaihi Roji'un.
Tetouan, 14 Juli 2008
No comments:
Post a Comment