Friday, July 25, 2008

Puisi Arab Modern Di Maroko Abad 20

Oleh : Syariful Hidayat

Krisis politik, ekonomi, sosial dan pemikiran yang sedang melanda Maroko pada awal abad 19 sungguh telah menjadikan Maroko sebagai negara yang sedang gonjang-ganjing. Multi krisis itu disebabkan oleh berbagai peperangan yang terjadi di berbagai kota di Maroko, seperti di Tetouan yang disebut perang Tetouan, perang Isli dan penjajahan Jazirah oleh Prancis yang merambat Maroko. Sejarawan Maroko Ahmad bin Kholid an-Nashiri mengatakan, bahwa "berbagai perang yang terjadi di Maroko telah memecah belah persatuan, khususnya umat Muslim, di mana perang ini belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan peperangan itu memunculkan berbagai kerusakan[1]".

Kerusakan yang dimaksud oleh Ahmad Nashiri diperjelas oleh Ustad Dr. Muhamad Abdul Hafid Genoun Hasani : "penjajahan yang terjadi di Maroko bukanlah sekedar penjajahan politik, tetapi merupakan penjajahan agama, sosial, bahasa dan budaya. Penjajahan pemikiran dan agama memiliki dampak yang sangat besar bagi umat dibanding penjajahan-penjajahan lainnya, karena penjajah tertuju pada keyakinan umat yaitu agama, persatuan, bahasa dan pemikiran, serta berusaha untuk menguasai gerak ulama sehingga dapat dengan mudah menutup aliran ilmu, bahasa dan berbagai pengetahuan"[2].

Dalam kondisi yang terdesak dan mengkhawatirkan kehidupan itu, para penyair Maroko terdorong untuk menggubah puisi kepahlawanan dan perjuangan. Abbas Jarari mengatakan : "Penyair pada masa itu dianggap sebagai seniman yang dapat menciptakan karya seni karena pengaruh alam, lingkungan dan perasaan"[3].

Di sisi lain, kondisi perpolitikan dan kemasyarakatan yang tidak menentu itu, menimbulkan kejumudan pemikiran Maroko yang mengakibatkan masyarakat semakin tidak mendapat perhatian pendidikan baik dari kerajaan, maupun dari ulama-ulama setempat, sehingga kondisi yang ada adalah masyarakat semakin menjauh dari agama islam, timbul bid'ah dan khurafat, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Ibrahim Sulami, "maka bertambahlah kejumudan budaya seperti pada masa lalu, ditambah lagi dengan belum adanya majalah dan koran, dan alat cetak yang masih sangat sederhana sehingga tidak dapat untuk mencetak buku serta menyebarkanya ke khalayak umum, bahkan perhatian kerajaan kepada penulis dan penyair yang sangat memperihatinkan"[4]. Sampai kita temukan puisi yang berbunyi :

الكلب والشاعر في رتبة وددت أني لم أكن شاعرا

Anjing dan Penyair itu satu derajat

Sugguh beruntung, aku tidak menjadi penyair

Kondisi yang demikian itu tentunya mempengaruhi perkembangan sastra arab Maroko, di mana perkembangan sastra Maroko pada saat itu menjadi sempit jangkaunya, yaitu tidak lebih dari sekedar menghafal puisi-puisi dan mengenal penyair-penyair arab terdahulu serta tidak lebih dari usaha pamer dalam penggunaan bahasa arab dengan ilmu balaghoh dan nahwu, bahkan masyarakat beranggapan, bahwa penguasaan pada puisi arab tak lebih dari sekedar batas tingkatan tingginya ilmu bagi seorang ulama. Dalam hal ini Ilal Fesi mengatakan : "perkembangan sastra arab masa-masa ini berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa, seperti balaghoh dan nahwu, di mana penggunaanya tidak lebih hanya sekedar wasilah untuk menyombongkan diri, bahwa seorang penyair adalah kelompok yang memiliki bahasa indah, ungkapan kata yang lembut, pemilihan diksi yang sesuai, dsb, secara umum puisi Maroko pada masa ini adalah sebuah ukuran tingkatan tertinggi seorang ulama"[5].

Dengan demikian, kita melihat bahwa perkembangan sastra arab di Maroko pada abad 19 ini merupakan pertunjukan seorang ulama di dalam menggunakan bahasa arab yang fasih dan indah, bahkan lebih dari itu, bahwa puisi arab Maroko hanyalah sebagai wasilah untuk menjadikan diri seorang penyair menerima penghargaan karena bahasanya yang indah dan untuk dapat menerima pangkat atau jabatan, hal ini dapat kita buktikan dari puisi Abdurrahman bin Zidan yang berbunyi :

Wahai raja, puisi adalah kumpulan hikmat

Yang dapat bermanfaat bagi orang kaya, berkedudukan dan pejabat.

Ahmad Thoraisy menambahkan, bahwa "Penyair yang menggubah puisi pada masa ini bukanlah penyair yang pada hakikatnya memiliki pemahaman bagaimana cara menggubah dan melantunkan puisi, namun mereka adalah para ulama ahli agama yang memasuki dunia sastra dari pintu belakang dan mereka tidak memiliki tujuan kecuali untuk berpuitisasi, memamerkan bahasa dan mencari hal yang baru dalam bahasa, dsb"[6].

Dr. Abbas Jarari memperkuat pernyataan di atas, beliau mengatakan : "sastra Maroko pada masa ini sungguh sangat lemah, tidak memiliki kualitas dan ia tidak berhak untuk dikembangkan, tidak boleh untuk menjadi bahan penelitian, tidak dapat dipercaya, tidak mengandung sajak dan intonasi yang benar dan topic pembahasannya sangat privasi seperti memuji seserang, memuji alam dan menganggap baik perkumpulan-perkumpulan hura-hura, kalaupun lebih, maka tak lebih dari sekedar memuji sahabat dan beberapa puisi yang digubah berdasarkan peristiwa yang semuanya itu mengacu pada kebiasaan-kebiasaan jelek penyair arab jahily".

Sehingga dengan demikian, Ustad Abdullah Genoun menyebut masa ini dengan masa kejumudan, seperti dalam pernyataanya : "dengan demikian, perkembangan pemikiran dan sastra Maroko stagnan, baik dari segi materinya, maknanya ataupun uslubnya". Namun menurut ustad Abbas Jarari, jika puisi arab mengandung kumpulan karya sastra arab secara menyeluruh, maka puisi maroko pada masa ini adalah kumpulan sejarah Maroko saja, karena ia hanya menyebutkan kejadian-kejadian bersejarah yang dilalui oleh Maroko selama masa ini, beliau mengatakan : "sekalipun sastra Maroko adalah kumpulan kata-kata indah dan sejarah yang tidak memiliki sajak yang benar, maka dari sisi bagaimana menyampaikan sebuah peristiwa, puisi maroko telah memberikan bahan yang sangat subur bagi perkembangan sejarah Maroko".

Dalam kondisi yang demikian itu, pada pertengahan abad 19 muncul sebuah gerakan salafiyah yang menyeru kepada agama islam dengan memerangi bi'dah dan khurafat yang komandoi oleh Syaikh Abu Syuaib ad-Dakkali dan dilanjutkan serta disebarkan oleh Syaik Muhamd bin al-Arabi al-Alawi, Abdullah Genoun dan Ilal Fasi.

Gerakan salafiyah ini sedikit membawa kemajuan bagi perkembangan sastra arab di Maroko, diantaranya terlihat pada munculnya alat percetakan yang dibawa oleh Idris bin Muhamad Idris al-Imrowi sepulang dari Paris tahun 1859 dan juga alat percetakan yang dibawa oleh Muhamad Thoyib al-Susi al-Rudani sepulang dari haji melewati Mesir pada tahun 1865.

Lantas muncul pertanyaan, jika Maroko telah berusaha untuk keluar dari multi krisis pada dua pemerintahan, pemerintahan Muhamad Abdurrahman dan Hasan I yang nampak pada berbagai usaha seperti pengiriman delegasi ilmiah ke Mesir dan Eropa, pembaharuan system perkantoran, memajukan pendidikan, membina tentara, mengembangkan perdagangan, dan merevisi system negara dari berbagai segi, memasukkan alat cetak dan munculnya koran pada tahun 1889, namun, kenapa Maroko tidak juga sampai pada perkembangannya dibidang sastra ?

Sesunggunya, perang Tetouan, Perang Rif dan perpecahan di Maroko sebelah selatan dan Atlas telah memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan sastra Maroko, khususnya hubungan sastra dengan politik dan hubungan politik dengan sastra. Perkembangan yang terjadi dibidang percetakan dan koran pun juga telah memiliki andil yang besar dalam mencetak peta-peta pemikiran para pemuda yang saat itu terpengaruh oleh sastra arab dari timur tengah yang sedang maju yang dimotori oleh Mahmud Sami Barudi, Hafid Ibrahim dan Ahmad Syauqi, sehingga sastra Maroko semakin menyamai puisi arab zaman jahily, baik dari segi bentuknya, pemaparanya dan sajaknya. Di mana bentuk yang demikian ini merupakan referensi utama untuk menuju pada penggubahan puisi arab yang benar.

Perjalanan kearah kemajuan sastra Maroko tidak hanya di situ, dari segi bahasa, terdapat perkembangan juga yaitu lebih mudah dipahami dan merakyat, dari segi bentuk kebanyakan sama dengan bentuk puisi lama sekalipun tidak semua, dan dari segi topic, terjadi kemajuan yang sangat besar, misalnya topicnya lebih meluas, seperti topic tentang jati diri, romance, peristiwa-peristiwa politik, social, pemikiran yang kontemporer dsb.

Tetouan, 28 November 2007



[1] الإستقصا في أخبار المغرب الأقصى، أحمد بن خالد الناصري، الجزء 09، ص : 101

[2] النضال في شعر علال الفاسي، الدكتور محمد عبد الحفيظ كنون الحسني، ص : 14.

[3] الحرية والأدب، الدكتور عباس الجراري.

[4] الشعر الوطني المغربي في عهد الحماية، ص : 48.

[5] النضال في شعر علال الفاسي، الدكتور عبد الحفيظ كنون الحسني، ص : 16.

[6] الرؤية والفن في الشعر العربي الحديث بالمغرب، أحمد الطريسي أعراب، ص : 15.

No comments: